Minggu, Februari 21, 2010

Sejarah Lagu "INGAT AKAN NAMA YESUS" KJ 344


Judul lagu: Take the Name of Jesus with You
Pengarang: Lydia Odell Baxter
Komposer: William H. Doane

Ingat akan nama Yesus, kau yang susah dan sedih

Nama itu menghiburmu k'mana saja kau pergi.

Indahlah namaNya, pengharapan dunia!

Indahlah namaNya, suka sorga yang baka!

Lydia Odell Baxter atau lebih dikenal dengan Lydia Baxter memilih untuk menjadi pelayan Kristen yang giat dan rajin daripada menyerah pada keadaan fisiknya. Lydia lahir di Petersburg, New York pada tanggal 8 September 1809. Setelah ia lahir baru, bersama dengan saudara perempuannya, Lydia mendirikan Gereja Baptis di rumahnya di Petersburg. Setelah menikah, ia bersama suaminya pindah ke New York dan melanjutkan pelayanannya di kota tersebut. Rumahnya di New York sering dijadikan tempat berkumpulnya para pengkhotbah, penginjil dan pelayan-pelayan Kristen untuk mencari inspirasi dan meminta nasihat darinya. Teman-temannya yang biasa mengunjunginya saat terbaring sakit justru mengatakan bahwa mereka mendapat penghiburan darinya.

Lagu INGAT AKAN NAMA YESUS, ditulis Lydia pada saat ia sakit parah, empat tahun sebelum ia meninggal. Meskipun ia banyak menulis lagu-lagu rohani, lagu ini satu-satunya lagu himne yang masih dinyanyikan sampai sekarang.

Lydia juga menulis kumpulan puisi dengan judul Gems by the Wayside yang diterbitkan tahun 1855.

Komposer lagu ini, William H. Doane segera menulis not untuk syair lagu ini setelah Lydia menyelesaikan syairnya. Kemudian lagu ini diterbitkan di buku lagu-lagu rohani yang berjudul Pure Gold pada tahun 1871. Lagu ini digunakan juga dalam kampanye evangelis Moody-Sankey pada perempat abad ke-19, dan masih terus dipakai oleh semua kongregrasi evangelikal di seluruh dunia.

Sumber: http://www.cyberhymnal.org/htm/p/r/precious.htm

Selanjutnya...

SIDHI


“Menurutmu apa sidhi itu?”
“Oh… itu kalau kita sudah lulus katekisasi, lalu sidhi… artinya kita menanggung dosa kita sendiri Kak…” Jawaban ini membuat pengasuh terkesima!

Ternyata tidak sedikit dari antara anak sekolah minggu kita yang kurang memahami apa sebenarnya sidhi itu. Ada juga yang sudah memahami sebagian namun masih kurang tepat.

Sebenarnya sidhi itu apa ya?


Sidhi diambil dari bahasa Sansekerta “sidhi” yang mengandung arti “penuh” (bulat dalam arti sempurna – menunjuk seperti “purnamasidhi” artinya bulan yang bulat/penuh sempurna).
Sehingga sidhi menunjukkan pada kepenuhan atau kedewasaan iman seseorang.
Sidhi adalah pengakuan seseorang yang mengaku bahwa ia percaya kepada Tuhan Yesus secara mandiri dan dewasa, tidak lagi di bawah perwalian orang tuanya yang membaptiskan dia waktu kecil. Ia ingin mengambil hak dan tanggung jawab sebagai seorang warga jemaat yang dewasa.

Banyak juga dari kita yang berpikir bahwa lulus katekisasi adalah syarat untuk sidhi. Hal ini tentu juga kurang tepat karena seseorang yang lulus katekisasi dan memahami semua ajaran dalam katekisasi belum tentu sudah dewasa secara iman.

Namun sebelum lebih jauh, kita perlu mengetahui apa itu Katekisasi.

Katekisasi berasal dari bahasa Yunani “kata” (bawah) dan “echein” (menyampaikan).
Katekisasi artinya adalah pendidikan mengenai iman Kristen kepada anak, orang muda dan dewasa yang mencakup tentang doktrin kekristenan untuk mempersiapkan seseorang hingga memperoleh kepenuhan/kedewasaan iman di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Jadi saat kita mengikuti Katekisasi inilah, maka kita belajar bagaimana pemahaman yang benar tentang Allah Tritunggal dan karya penyelamatanNya. Kita belajar dan memahami Pengakuan Iman Kristen, sakramen dalam Kristen dan tata cara bergereja serta hal-hal prinsip yang lain.

Setelah mempelajari dan memahami ini semua, dengan pimpinan Roh Kudus, kita yakin bahwa hidup kita bukanlah milik kita lagi namun milik Tuhan Yesus yang telah menebus kita dari segala dosa kita dan memberikan anugerah hidup yang kekal.

Beberapa hal yang seharusnya kita rasakan dan imani saat kita siap untuk mengaku percaya (sidhi) adalah bahwa dosa kita sungguh amatlah besar dan kita tidak mampu untuk menanggungnya dengan kekuatan kita sendiri sehingga hanya dengan Kasih Tuhan maka kita beroleh selamat dan oleh karena itu kita patut mengungkapkan rasa syukur kita kepada Tuhan dengan hidup yang berkenan kepadaNya.

Jadi sidhi adalah jauh lebih dalam dari hanya sekedar masalah lulus atau tidak lulus ujian katekisasi, namun lebih kepada kesiapan hati kita, pengakuan iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Sementara katekisasi sangatlah penting untuk menuntun kita bertumbuh menjadi dewasa dalam iman dan mempersiapkan kita dalam mengambil bagian sebagai jemaat dewasa.

Selanjutnya...

Minggu, Februari 14, 2010

NARSIS


Istilah narsis sering terdengar beberapa tahun belakangan. Namun apakah sebenarnya arti dari narsis ini?
Dalam persiapan mengajar Sekolah Minggu di rumah Om Semmy Rumbiak, ternyata sebagian dari kami belum tahu dengan pasti istilah narsis ini… mungkin cuma Kak Nova saja yang ngerti.
Dari Wikipedia, kita tahu bahwa ternyata istilah narsis ini diambil dari legenda Yunani.


Alkisah ada seorang pemuda tampan bernama Narcissus yang menolak cinta seorang bidadari sehingga dia dihukum untuk hanya bisa jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Jadi saat Narcissus melihat bayangannya di air kolam yang jernih, dia jatuh cinta pada bayangannya itu. Dia berusaha menggapai bayangannya itu tapi selalu bayangan itu pergi. Gagal mendapatkan cinta akhirnya Narcissus menyendiri, jatuh dalam kolam dan berubah menjadi bunga yang diberi nama bunga Narcissus (mungkin sejenis bakung atau teratai)

Nah dari cerita ini, pada 1911 Otto Rank menggunakan istilah narsisme sebagai istilah yang menunjuk pada sifat sombong yang tidak wajar atau sifat yang suka memuja diri sendiri secara berlebihan.

Wah… ternyata istilah narsis ini sudah lama ya?
Sekarang kita tahu kalau istilah narsis ini mempunyai arti yang negative karena menunjukkan penyimpangan sifat atau karakter dimana seseorang :
1. Tidak tahu malu
2. Berpikir dirinya sempurna
3. Bersikap arogan (mau menang sendiri)
4. Tidak suka akan keberhasilan orang lain dan suka mengejek orang lain
5. Mengharapkan dirinya diperlakukan secara istimewa
6. Suka menyuruh (meremehkan orang lain)
7. Menganggap semua orang ada untuk melayani dirinya

Adalah hal yang aneh saat ada sebuah blog yang mengaku dirinya sendiri sebagai “kumpulan orang narsis”. Jangan –jangan mereka tidak tahu apa itu narsis ya? Karena jaman sekarang ini begitu banyak orang hanya ikut-ikutan arus tanpa mengerti apa itu sebenarnya. Jadi inget, dulu ada juga artis yang diwawancara di infotainment dan bilang “global warming is cool…” he..he..he..

Walau demikian, menurut Sigmund Freud narsisme pada porsi yang wajar sangat dibutuhkan oleh tiap manusia. Artinya memang ada sifat ini sejak dari lahir (bawaan lahir), yaitu sifat ingin dihargai, ingin dipuji, ingin dianggap penting oleh orang lain, dsb. Namun pada porsi yang berlebihan, hal ini akan menyebabkan penyimpangan sifat seperti di atas tadi.

Bagaimana dengan kita?
Apakah kita masih dalam batas normal atau sudah berlebihan?

Kalau kita suka kejar setoran dengan upload foto sebanyak-banyaknya, tag temen sebanyak-banyaknya dengan harapan biar kita ngetop di internet. Add friend sebanyak-banyaknya sampai beratus-ratus bahkan ribuan (padahal yang kenal beneran cuma puluhan) dengan harapan kalau nama kita dicari di google pasti langsung ketemu dsb, maka patut dicurigai kita sudah ikut golongan “narsis yang agak-agak berlebihan”.

Kalau kita terlalu egois, mementingkan diri sendiri tanpa mau melihat orang lain, kita sulit mengakui keberhasilan orang lain dan selalu menganggap diri lebih baik dibanding orang lain, kita juga patut mewaspadai jangan-jangan kita sudah ikut “narsis yang berlebihan”.

Jadi ayo kita melihat diri kita sendiri, renungkan apa motivasi kita atas tindakan kita, bagaimana kita bergaul dengan orang lain, dengan teman dan sesama kita, jangan-jangan kita sudah masuk dalam kategori narcissistic personality disorder.

Selanjutnya...

Selasa, Februari 09, 2010

MEMBERI DENGAN KASIH


Salah satu topik yang diajarkan Tuhan Yesus dalam kotbah di bukit adalah hal memberi sedekah.
Memberi sedekah bagi bangsa Yahudi dilakukan supaya mereka mendapat perkenan Allah dan juga untuk mendapatkan pengampunan dari kesalahan serta dosa-dosa yang dilakukan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan para rabi Yahudi bahwa orang yang bersedekah lebih baik dibanding dengan orang yang mempersembahkan korban.
Namun ternyata banyak dari mereka (dan mungkin juga kita) yang memberikan sedekah dengan motivasi yang salah. Seringkali mereka memberi sedekah karena ingin dipuji orang, atau ingin menonjolkan diri atau dikenal sebagai orang yang murah hati dan sebagainya.
Tuhan Yesus tidak berkenan dengan pemberian sedekah yang didasari oleh keinginan untuk menyombongkan diri sendiri. Tuhan Yesus ingin supaya kita memberi dengan motivasi yang benar.
Bagaimana kita memberi dengan benar seperti yang dikehendaki Tuhan?


1. Memberi dengan kasih
Kata yang digunakan untuk menggambarkan tindakan “bersedekah” adalah “eleemosunen” yang artinya pemberian cuma-cuma sebagai wujud belas kasihan kepada orang yang membutuhkan. Tuhan Yesus menghendaki supaya dalam kita memberikan sedekah, harus didasari oleh belas kasihan, bukan yang lain. Jadi jika kita memberikan sumbangan atau sedekah dan kemudian kita ingin supaya nama kita dipampang atau dibacakan di depan orang, sehingga banyak orang memuji kita, maka pemberian kita itu tidak akan berkenan di hadapan Tuhan.
Atau jika kita memberi karena merasa terpaksa, gengsi, atau ingin menarik perhatian orang yang kita suka, atau alasan lain yang ujung-ujungnya hanya pada kepentingan diri kita sendiri, maka itu semua tidak akan berkenan di hadapan Tuhan.
Tuhan ingin agar kita memberi dengan didasari oleh kasih akan sesama kita yang membutuhkan, oleh karena itu Tuhan Yesus dengan jelas mengingatkan kita dalam Matius 6:3 “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” artinya adalah bahwa dalam memberikan sedekah hendaknya secara pribadi, tidak perlu diumumkan atau dipamer-pamerkan. Terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris sehari-hari adalah “But when you help a needy person, do it in such a way that even your closest friend will not know about it” artinya kira-kira “jadi jika kalian membantu orang yang membutuhkan, lakukanlah secara diam-diam sehingga tidak ada yang tahu (bahkan sahabatmu pun tidak tahu)”.

2. Memberi karena sadar sebagai saluran berkat Tuhan
Jika kita memberi maka kita lebih baik atau lebih tinggi posisinya dibanding orang yang menerima. Hal ini sering terlintas dalam pikiran kita, bukan? Benarkah ini? Jawabannya adalah SALAH.
Kita harus sadar bahwa semua yang ada pada kita adalah pemberian dari Tuhan. Sehingga jika kita mampu menjadi saluran berkat untuk orang lain, itu semua adalah karena pemberian Tuhan saja.
Jika kita memberi sedekah atau bantuan, bukan berarti kita lebih baik atau lebih tinggi posisinya dengan orang yang menerima bantuan kita tersebut. Dalam memberikan sedekah, kita harus selalu ingat bahwa kita hanyalah saluran berkat dari Tuhan. Dan semua yang ada pada kita berasal dari Tuhan sehingga Tuhan lah yang harus dimuliakan bukannya diri kita.

3. Memberi dengan rela
Ada sebuah cerita tentang seorang nelayan dengan perahunya yang bocor. Ceritanya begini:
Suatu hari nelayan ini berlayar ke laut untuk mencari ikan. Setelah sekian lama berada di tengah laut, perahunya mulai penuh dengan ikan hasil tangkapan. Nelayan ini senang sekali dan bersiap untuk pulang ke darat.
Namun ternyata dia baru sadar bahwa perahunya bocor… air sedikit demi sedikit mulai masuk ke dalam perahunya. Si nelayan ini merasa ketakutan kalau-kalau perahunya akan tenggelam, sehingga dia segera berdoa kepada Tuhan, katanya, “Tuhan, tolonglah hambaMu ini… hamba berjanji jika Tuhan tolong hamba sampai ke darat, maka separuh dari hasil tangkapanku ini akan hamba persembahkan ke gereja.” Rupanya doanya ini terkabulkan sehingga perahu itu terus melaju ke darat dan makin mendekati pantai.
Nelayan ini mulai hilang ketakutannya dan berpikir, “ ah, jangan-jangan bocornya ini memang kecil dan tidak parah-parah amat. Tuhan, Engkau kan Maha Pemberi. Engkau sebenarnya tidak membutuhkan sesuatu. Tuhan, maafkan hamba, nelayan yang miskin ini. Dan, hamba yakin, Engkau akan memaafkan hamba. Seperempat dari hasil ikan-ikan ini, yang akan hamba sumbangkan.” Tuhan memang Maha Pemaaf, perahunya melaju terus dan sudah dekat sekali dengan pantai.
Si nelayan berpikir lagi, “Tuhan, maafkan hambaMu ini, nelayan yang miskin ini. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga hamba saja hamba tidak mampu. Namun seperti janji hamba tadi, hamba akan persembahkan hasil dari penjualan satu ekor ikan.”
Sesampainya di pantai, nelayan ini berpikir lagi, “ Tuhan, Engkau Maha Pemberi, Maha Pemaaf. Apa yang Engkau butuhkan? Hamba manusia biasa, tidak dapat memberi sesuatu kepadaMu. Bagaimanapun juga hamba mengucapkan terima kasih atas pertolonganMu. Hasil penjualan ikan-ikan ini sangat hamba perlukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga hamba. Hamba yakin Engkau mengetahui keadaan hamba. Terima kasih Tuhan, terpujilah NamaMu!”
Seringkali kita sama seperti nelayan ini, kita tidak rela dengan apa yang kita berikan pada orang lain dan mulai membuat alasan-alasan untuk membenarkan diri sendiri. Banyaknya pertimbangan untuk kepentingan diri sendiri saat kita hendak memberikan bantuan membuat kita tidak dengan rela membantu sesama yang membutuhkan. Jika kita akhirnya memberikan bantuan, namun dengan hati yang tidak rela seperti ini, maka Tuhan tidak akan berkenan dengan hal itu.

Tuhan ingin jika kita memberikan sedekah, maka kita memberi dengan rela dan didasari motivasi yang benar yaitu kasih serta selalu sadar bahwa kita ini adalah saluran berkat dari Tuhan. Segala Kemuliaan hanya bagi Tuhan saja. Amin.

Selanjutnya...